Sedikit summary tentang saya yang tak pernah
terucap sebelumnya. Oke, bukan bermaksud untuk membanggakan diri, tapi memang
begitu adanya.
Sejak SD
hingga SMA saya termasuk siswi yang yah lumayan lah untuk urusan akademik. Sembilan
kali menempati rangking teratas, juara olimpiade Fisika tingkat kota, juara 1
tenis putri KU-13 tingkat kota dan menang lomba debat Bahasa Inggris tingkat
kota dan salah satu pembaca berita radio terbaik tahun 2008. Pada masa itu, siapa yang
tak kenal nama saya. Kalau bisa diukur dengan bintang, mungkin nama saya yang
paling terang diantara teman-teman yang lain. Sampai pada akhirnya, saya
kehilangan rasa percaya diri. Diawali dengan tak sengaja mendengar pendapat
orang-orang sekeliling yang ternyata menganggap saya bodoh, kaku, tak bisa
berbuat apa-apa. Makin lama, pendapat mereka-mereka itu semakin jelas, apalagi
dengan bahasa tubuh yang mereka tunjukkan. Yang paling membuat saya bingung
sampai sekarang adalah… well, ketika
itu habis pelajaran olahraga, saya merasa tak enak badan. Setelah lari sekitar
2 KM tanpa henti (karena saat itu yang waktu tercepat lah yang mendapat nilai
yang baik), dada saya terasa sakit, sampai akhirnya serangan asma pun mulai
menyapa. Waktu itu saya sendirian di kelas, karena teman-teman yang lain berada
di kantin. Dan, ada satu orang murid laki-laki yang masuk ke kelas. Saya susah
payah minta pertolongan, setidaknya bantu saya untuk memasangkan obat hirup
yang selalu saya bawa setiap hari. Dan ternyata, dia mengambil ponselnya dan
malah merekan video dimana saya sedang berusaha untuk bertahan hidup. Sungguh, saya
tidak mengerti apa yang dia pikirkan saat itu. Setelah selesai mengabadikan
moment (??) dia pergi ke luar tanpa menoleh sedikitpun. Selanjutnya, saya
tiba-tiba berada di ruang UKS.
Semenjak kejadian
itu, saya tidak pernah merasa nyaman selama SMA. Masih banyak hal aneh yang
orang-orang lakukan terhadap saya, tak perlu diceritakan. Tak pantas diceritakan
sebenarnya. Sejak saat itu, saya merasa ada sesuatu yang salah pada diri saya. Entah
apa itu, yang pasti saya jadi takut jika ada orang yang menilai saya lewat
sudut pandangnya. Semakin lama, saya merasa selalu ingin tampil sempurna setiap
saat. Saya luar biasa waswas dan selalu takut bila ada orang yang menganggap
saya aneh, baik berupa penampilan atau pun perilaku. Saya tidak ingin berbuat
kesalahan, tidak mau terlihat bodoh, tidak boleh membuat malu. Sejak saat itu,
saya meyakinkan diri untuk menutup lembaran masa sekolah, fokus melihat kedepan
dan berusaha keras untuk menjaga IMAGE yang akan saya bangun sebagai manusia
yang (setidaknya) sempurna di masa depan.
Dua atau tiga hari sebelum 15 Mei 2014..
“I’ll
be searching my way, so I can go back to my sky that lost its light…”
Nah, kata-kata
itu yang bikin saya sempat terbengong-bengong. Selama ini (waduh), rasanya bisa
dihitung jari berapa kali saya berpikir serius untuk menjalani hidup. Dan,
iya.. mungkin my own sky lost its shine,
itulah kenapa saya santai-sanyai saja selama ini. Tapi memang, kenapa harus
terburur-buru? Mau kemana? Toh pada akhirnya, saya tidak sedang berlomba, tidak
sedang melawan siapapun.
Mungkin semuanya
berawal dari kejadian-kejadian lima tahun lalu. Ada beberapa titik yang pada
akhirnya jika ditarik satu garis lurus, bisa menjawab semua pertanyaan saya
selama ini. Ada cinta, kepercayaan dan ketulusan.
Cinta. Kata orang,
cinta itu indah. Bagi saya, cinta itu tak bisa didefinisikan. Pernah saya
dengar ada yang berkata :
“Kalau ada seseorang yang bertanya ‘kenapa
kamu suka padanya?’ dan kamu masih bisa menjawab pertanyaan itu, maka itu tidak
bisa dinamakan cinta. Tapi, jika kamu kebingungan untuk mencari jawaban agar
bisa menjawab pertanyaan itu, maka itulah cinta…”
Dan, lima
tahun lalu, tanpa sebab yang jelas, ternyata saya kebingungan jika ada yang
melemparkan pertanyaan itu pada saya, bahkan sampai sekarang. Entahlah. Tapi memang,
kata siapa cinta butuh jawaban? Selama lima tahun ini, saya hidup baik-baik
saja. Mungkin saya yang terlalu acuh hingga tak pernah mencoba untuk mencari
tahu jawabannya, atau memang sudah berusaha tetapi tetap tak menemukan jawaban
yang benar-benar sempurna untuk pertanyaan itu. Memang, indah sekali rasanya
ketika ada orang yang kita sayang di hari ulang tahun, di hari dimana kita
membutuhkan tempat untuk bersandar, di hari dimana kita ingin berbagi cerita
baik yang sedih ataupun yang membahagiakan. Selama lima tahun ini, mungkin dia
lebih kenal saya dibanding orang lain. Terkadang, miris rasanya. Dia jauh, tapi
terasa dekat. Dan, orang-orang yang dekat dengan dengan saya terasa jauh. Seperti
lirik-lirik klise di lagu-lagu cinta “terpisah ruang dan waktu”.. haha! Apapun
lah itu maksudnya. Tapi memang benar, dia ada di belahan dunia yang lain, untuk
mencium wangi parfumnya pun jadi hal yang mustahil. Dia bangun di waktu saya
untuk tidur, dia tidur di waktu saya untuk bangun. Sungguh, lima tahun yang
terlewati harus seperti itu setiap hari. Tapi ya mau bagaimana lagi. Toh pada
akhirnya saya menikmati masa-masa itu. Suatu waktu, saya luar biasa bingung,
marah, sedih, kecewa, semuanya campur aduk. Sampai saya berpikir untuk pergi
dan tak akan pernah kembali. Malam harinya saya ceritakan semua padanya, sampai
detil-detilnya pun saya utarakan. Dia balas pesan yang saya kirim, sedikit
membuat tersenyum atau mungkin saya ke-GR-an:
“Ketika kau pikir
kau tidak bahagia hidup di dunia ini, kau harus ingat bahwa suatu hari nanti kau
akan membuat seseorang bahagia. Mungkin orang itu aku, mungkin juga bukan. Dan jika
bukan, kenalkan ia padaku. Akan kuberitahu semua hal tentangmu. Apa yang kau
suka, apa yang kau tidak suka agar ia bisa memperlakukanmu dengan baik.”
Saat itu juga,
aku menangis. Ingin rasanya berterima kasih, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
Kenapa ada orang seperti dia di dunia ini. Apakah ini ujian atau berkah dari
Tuhan?
Hal yang
kedua, Kepercayaan. Selama lima tahun ini, saya menceritakan susah-senang yang
saya rasakan kepada dia. Simple, karena saya percaya padanya. Kasarnya, saya
tidak pernah cerita apapun pada siapapun (orang-orang di sekeliling saya) karena
saya tidak percaya pada mereka. Saya takut mereka akan men-judge saya yang pada akhirnya bisa-bisa membuat saya meresa
terasing. Kalau boleh jujur, selama kuliah, tidak ada satu orang pun yang tahu
latar belakang saya, siapa keluarga saya, seperti apa kehidupan saya. Mereka bahkan
tidak tahu saya tinggal dimana. Lagi-lagi karena saya tidak percaya pada
mereka. Saya juga sebenarnya bingung, kenapa saya takut? Mungkin saya takut
orang-orang menilai saya buruk, aneh, lebay, atau sebenarnya saya takut diri
saya tahu apa yang sebetulnya orang-orang pikirkan. Dan balik lagi ke alasan
tertulis diatas. Karena ingin terlihat SEMPURNA. Meskipun saya tahu tidak ada
manusia yang sempurna. Jika bertanya-tanya kenapa saya punya trust issue, jawabannya simple. Orang
yang paling dekat dengan saya pun tidak bisa dipercaya. Jadi, kenapa saya harus
mengandalkan orang lain? Kenapa saya harus baik pada semua orang? Toh,
sebenarnya mereka juga tidak peduli.
Dan, pas hari
ulang tahun saya kemarin, dengan tekad yang sebenarnya belum begitu bulat, saya
yakinkan diri untuk membiarkan teman-teman yang sudah saya kenal selama hampir
tiga tahun untuk datang ke rumah, sedikit tahu tentang keluarga saya dan
bertemu orang tua saya. Ada rasa lega, walau pun sedikit. Setidaknya mereka
tahu saya bukan seorang kriminal. Saya merasa lebih ‘dekat’ dengan mereka. Biasanya,
saya selalu merasa canggung, bingung ketika harus mengemukakan pendapat. Takut.
Jadi lebih baik saya diam. Tapi kemarin, ada sesuatu yang membuat saya merasa
percaya pada mereka. Mungkin secuil, tapi penting. Setidaknya untuk saya
sendiri. Ingin rasanya minta maaf pada mereka. Kenapa harus menunggu begitu
lama untuk membuat saya merasa percaya pada mereka. Padahal saya yakin, selama
ini mereka menghormati saya, memperlakukan saya sebagai teman atau bahkan
sahabat mereka. Ada hal sederhana yang saya dapat dari moment ini. Setelah sekian
lama saya selalu melakukan segala hal sendirian (bahkan saya sering berpikir ‘I’m
even too independent to be in a
relationship’), saya sadar ada orang lain yang butuh saya dan saya juga butuh
orang orang lain. Mungkin mulai hari ini saya harus mulai berpikir untuk
merubah diri, biarpun sedikit dan pelan-pelan. Semoga saya bisa! Harus…
Terakhir,
tentang ketulusan. Seperti yang sudah saya katakan diawal, banyak hal yang
merubah saya selama lima tahun ini. Dan untuk masalah ketulusan, saya baru
mendapatkannya sekitar empat atau lima bulan lalu. Berawal dari pertemuan saya
dengan teman-teman baru. Bagaimana cara dan siapa saja orangnya, tak perlu saya
jelaskan. Yang pasti, saya merasa telah berbuat banyak untuk mereka tapi
ternyata hanya ada satu orang yang satu pikiran dengan saya. Yang lain, entah
tidak tahu diri atu apa lah itu disebutnya. Mereka acuh, bahkan tak ucap ‘maaf’
atau ‘terima kasih’. See? Untuk kesekian
kalinya, saya ‘dibodohi’ orang-orang sekeliling yang sudah saya taruh
kepercayaan. Itulah kenapa saya susah sekali untuk ‘keluar sangkar’, sakit
rasanya. Makanya, sampai sekarang, untuk bertemu mereka pun rasanya sungguh tak
mau.
Selanjutnya,
bulan Maret 2014. Orang yang (cukup) dekat dengan saya pergi. Pergi jauh,
ditunggu selama apapun tak akan kembali. Orang yang selama ini jadi kuping
ketiga saya. Kami sama-sama suka makanan pedas, sama-sama punya sisi ‘American
Style’, sama-sama suka game pc, sama-sama suka minuman dingin, sama-sama suka
menghayal hidup di luar negeri. Sering saya cerita tentang betapa aneh
kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Tanpa mengeluh, ia dengar semua cerita
saya sampai beres. Tak jarang saya sampai menangis selagi cerita. Dia sudah
saya anggap seperti kakak perempuan saya sendiri. Dan saya baru sadar, ia tak pernah
mengeluh tentang kehidupannya (yang menurut saya (mungkin) lebih sedih dan
lebih berat dari saya). Tak pernah sekalipun ia bilang ia tak suka kehidupannya
yang berliku. Dari situlah saya sadar, ia tulus jadi orang yang saya andalkan,
mungkin ia tahu saya tak punya siapa-siapa ketika ingin ngobrol dari
hati-ke-hati. Saya tidak pernah memberikan apapun untuknya. Kado terakhir yang
saya berikan untuknya ketika berulang tahun pun, saya rasa belum tersentuh. Masih simpan utuh di lemari dekat tv miliknya.
Seandainya ia bisa dengar suara hati saya, ingin rasanya bilang ‘maaf’. Ia sudah
punya banyak beban dalam hidupnya, tapi saya masih lancang menambah beban
dengan semua masalah yang saya ceritakan. Jika saya punya kekuatan super untuk
mengulang waktu, akan saya balas semua pesan singkat darinya yang biasanya
selalu saya abaikan, ingin rasanya menjadi lebih dekat seperti kakak-adik
sebenarnya. Intinya, saya merasa bersalah tidak meluangkan waktu lebih banyak
dengan orang yang tulus mau jadi tempat sandaran saya. Terima kasih banyak
sudah jadi contoh dalam segala hal. Saya tak punya apa-apa, saya juga tak
sempat berbuat apa-apa. Satu hal yang bisa saya lakukan, jalani hidup lebih
baik, selagi masih ada waktu…