Pages

Sunday, May 18, 2014

Everybody Has the Rights to Love, Being in Love and be Loved...


Sedikit summary tentang saya yang tak pernah terucap sebelumnya. Oke, bukan bermaksud untuk membanggakan diri, tapi memang begitu adanya.
Sejak SD hingga SMA saya termasuk siswi yang yah lumayan lah untuk urusan akademik. Sembilan kali menempati rangking teratas, juara olimpiade Fisika tingkat kota, juara 1 tenis putri KU-13 tingkat kota dan menang lomba debat Bahasa Inggris tingkat kota dan salah satu pembaca berita radio  terbaik tahun 2008. Pada masa itu, siapa yang tak kenal nama saya. Kalau bisa diukur dengan bintang, mungkin nama saya yang paling terang diantara teman-teman yang lain. Sampai pada akhirnya, saya kehilangan rasa percaya diri. Diawali dengan tak sengaja mendengar pendapat orang-orang sekeliling yang ternyata menganggap saya bodoh, kaku, tak bisa berbuat apa-apa. Makin lama, pendapat mereka-mereka itu semakin jelas, apalagi dengan bahasa tubuh yang mereka tunjukkan. Yang paling membuat saya bingung sampai sekarang adalah… well, ketika itu habis pelajaran olahraga, saya merasa tak enak badan. Setelah lari sekitar 2 KM tanpa henti (karena saat itu yang waktu tercepat lah yang mendapat nilai yang baik), dada saya terasa sakit, sampai akhirnya serangan asma pun mulai menyapa. Waktu itu saya sendirian di kelas, karena teman-teman yang lain berada di kantin. Dan, ada satu orang murid laki-laki yang masuk ke kelas. Saya susah payah minta pertolongan, setidaknya bantu saya untuk memasangkan obat hirup yang selalu saya bawa setiap hari. Dan ternyata, dia mengambil ponselnya dan malah merekan video dimana saya sedang berusaha untuk bertahan hidup. Sungguh, saya tidak mengerti apa yang dia pikirkan saat itu. Setelah selesai mengabadikan moment (??) dia pergi ke luar tanpa menoleh sedikitpun. Selanjutnya, saya tiba-tiba berada di ruang UKS.
Semenjak kejadian itu, saya tidak pernah merasa nyaman selama SMA. Masih banyak hal aneh yang orang-orang lakukan terhadap saya, tak perlu diceritakan. Tak pantas diceritakan sebenarnya. Sejak saat itu, saya merasa ada sesuatu yang salah pada diri saya. Entah apa itu, yang pasti saya jadi takut jika ada orang yang menilai saya lewat sudut pandangnya. Semakin lama, saya merasa selalu ingin tampil sempurna setiap saat. Saya luar biasa waswas dan selalu takut bila ada orang yang menganggap saya aneh, baik berupa penampilan atau pun perilaku. Saya tidak ingin berbuat kesalahan, tidak mau terlihat bodoh, tidak boleh membuat malu. Sejak saat itu, saya meyakinkan diri untuk menutup lembaran masa sekolah, fokus melihat kedepan dan berusaha keras untuk menjaga IMAGE yang akan saya bangun sebagai manusia yang (setidaknya) sempurna di masa depan.

Dua atau tiga hari sebelum 15 Mei 2014..
 “I’ll be searching my way, so I can go back to my sky that lost its light…”
Nah, kata-kata itu yang bikin saya sempat terbengong-bengong. Selama ini (waduh), rasanya bisa dihitung jari berapa kali saya berpikir serius untuk menjalani hidup. Dan, iya.. mungkin my own sky lost its shine, itulah kenapa saya santai-sanyai saja selama ini. Tapi memang, kenapa harus terburur-buru? Mau kemana? Toh pada akhirnya, saya tidak sedang berlomba, tidak sedang melawan siapapun.
Mungkin semuanya berawal dari kejadian-kejadian lima tahun lalu. Ada beberapa titik yang pada akhirnya jika ditarik satu garis lurus, bisa menjawab semua pertanyaan saya selama ini. Ada cinta, kepercayaan dan ketulusan.
Cinta. Kata orang, cinta itu indah. Bagi saya, cinta itu tak bisa didefinisikan. Pernah saya dengar ada yang berkata :
“Kalau ada seseorang yang bertanya ‘kenapa kamu suka padanya?’ dan kamu masih bisa menjawab pertanyaan itu, maka itu tidak bisa dinamakan cinta. Tapi, jika kamu kebingungan untuk mencari jawaban agar bisa menjawab pertanyaan itu, maka itulah cinta…”
Dan, lima tahun lalu, tanpa sebab yang jelas, ternyata saya kebingungan jika ada yang melemparkan pertanyaan itu pada saya, bahkan sampai sekarang. Entahlah. Tapi memang, kata siapa cinta butuh jawaban? Selama lima tahun ini, saya hidup baik-baik saja. Mungkin saya yang terlalu acuh hingga tak pernah mencoba untuk mencari tahu jawabannya, atau memang sudah berusaha tetapi tetap tak menemukan jawaban yang benar-benar sempurna untuk pertanyaan itu. Memang, indah sekali rasanya ketika ada orang yang kita sayang di hari ulang tahun, di hari dimana kita membutuhkan tempat untuk bersandar, di hari dimana kita ingin berbagi cerita baik yang sedih ataupun yang membahagiakan. Selama lima tahun ini, mungkin dia lebih kenal saya dibanding orang lain. Terkadang, miris rasanya. Dia jauh, tapi terasa dekat. Dan, orang-orang yang dekat dengan dengan saya terasa jauh. Seperti lirik-lirik klise di lagu-lagu cinta “terpisah ruang dan waktu”.. haha! Apapun lah itu maksudnya. Tapi memang benar, dia ada di belahan dunia yang lain, untuk mencium wangi parfumnya pun jadi hal yang mustahil. Dia bangun di waktu saya untuk tidur, dia tidur di waktu saya untuk bangun. Sungguh, lima tahun yang terlewati harus seperti itu setiap hari. Tapi ya mau bagaimana lagi. Toh pada akhirnya saya menikmati masa-masa itu. Suatu waktu, saya luar biasa bingung, marah, sedih, kecewa, semuanya campur aduk. Sampai saya berpikir untuk pergi dan tak akan pernah kembali. Malam harinya saya ceritakan semua padanya, sampai detil-detilnya pun saya utarakan. Dia balas pesan yang saya kirim, sedikit membuat tersenyum atau mungkin saya ke-GR-an:
“Ketika kau pikir kau tidak bahagia hidup di dunia ini, kau harus ingat bahwa suatu hari nanti kau akan membuat seseorang bahagia. Mungkin orang itu aku, mungkin juga bukan. Dan jika bukan, kenalkan ia padaku. Akan kuberitahu semua hal tentangmu. Apa yang kau suka, apa yang kau tidak suka agar ia bisa memperlakukanmu dengan baik.”
Saat itu juga, aku menangis. Ingin rasanya berterima kasih, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Kenapa ada orang seperti dia di dunia ini. Apakah ini ujian atau berkah dari Tuhan?
Hal yang kedua, Kepercayaan. Selama lima tahun ini, saya menceritakan susah-senang yang saya rasakan kepada dia. Simple, karena saya percaya padanya. Kasarnya, saya tidak pernah cerita apapun pada siapapun (orang-orang di sekeliling saya) karena saya tidak percaya pada mereka. Saya takut mereka akan men-judge saya yang pada akhirnya bisa-bisa membuat saya meresa terasing. Kalau boleh jujur, selama kuliah, tidak ada satu orang pun yang tahu latar belakang saya, siapa keluarga saya, seperti apa kehidupan saya. Mereka bahkan tidak tahu saya tinggal dimana. Lagi-lagi karena saya tidak percaya pada mereka. Saya juga sebenarnya bingung, kenapa saya takut? Mungkin saya takut orang-orang menilai saya buruk, aneh, lebay, atau sebenarnya saya takut diri saya tahu apa yang sebetulnya orang-orang pikirkan. Dan balik lagi ke alasan tertulis diatas. Karena ingin terlihat SEMPURNA. Meskipun saya tahu tidak ada manusia yang sempurna. Jika bertanya-tanya kenapa saya punya trust issue, jawabannya simple. Orang yang paling dekat dengan saya pun tidak bisa dipercaya. Jadi, kenapa saya harus mengandalkan orang lain? Kenapa saya harus baik pada semua orang? Toh, sebenarnya mereka juga tidak peduli.
Dan, pas hari ulang tahun saya kemarin, dengan tekad yang sebenarnya belum begitu bulat, saya yakinkan diri untuk membiarkan teman-teman yang sudah saya kenal selama hampir tiga tahun untuk datang ke rumah, sedikit tahu tentang keluarga saya dan bertemu orang tua saya. Ada rasa lega, walau pun sedikit. Setidaknya mereka tahu saya bukan seorang kriminal. Saya merasa lebih ‘dekat’ dengan mereka. Biasanya, saya selalu merasa canggung, bingung ketika harus mengemukakan pendapat. Takut. Jadi lebih baik saya diam. Tapi kemarin, ada sesuatu yang membuat saya merasa percaya pada mereka. Mungkin secuil, tapi penting. Setidaknya untuk saya sendiri. Ingin rasanya minta maaf pada mereka. Kenapa harus menunggu begitu lama untuk membuat saya merasa percaya pada mereka. Padahal saya yakin, selama ini mereka menghormati saya, memperlakukan saya sebagai teman atau bahkan sahabat mereka. Ada hal sederhana yang saya dapat dari moment ini. Setelah sekian lama saya selalu melakukan segala hal sendirian (bahkan saya sering berpikir ‘I’m  even too independent to be in a relationship’), saya sadar ada orang lain yang butuh saya dan saya juga butuh orang orang lain. Mungkin mulai hari ini saya harus mulai berpikir untuk merubah diri, biarpun sedikit dan pelan-pelan. Semoga saya bisa! Harus…

                Terakhir, tentang ketulusan. Seperti yang sudah saya katakan diawal, banyak hal yang merubah saya selama lima tahun ini. Dan untuk masalah ketulusan, saya baru mendapatkannya sekitar empat atau lima bulan lalu. Berawal dari pertemuan saya dengan teman-teman baru. Bagaimana cara dan siapa saja orangnya, tak perlu saya jelaskan. Yang pasti, saya merasa telah berbuat banyak untuk mereka tapi ternyata hanya ada satu orang yang satu pikiran dengan saya. Yang lain, entah tidak tahu diri atu apa lah itu disebutnya. Mereka acuh, bahkan tak ucap ‘maaf’ atau ‘terima kasih’. See? Untuk kesekian kalinya, saya ‘dibodohi’ orang-orang sekeliling yang sudah saya taruh kepercayaan. Itulah kenapa saya susah sekali untuk ‘keluar sangkar’, sakit rasanya. Makanya, sampai sekarang, untuk bertemu mereka pun rasanya sungguh tak mau.
Selanjutnya, bulan Maret 2014. Orang yang (cukup) dekat dengan saya pergi. Pergi jauh, ditunggu selama apapun tak akan kembali. Orang yang selama ini jadi kuping ketiga saya. Kami sama-sama suka makanan pedas, sama-sama punya sisi ‘American Style’, sama-sama suka game pc, sama-sama suka minuman dingin, sama-sama suka menghayal hidup di luar negeri. Sering saya cerita tentang betapa aneh kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Tanpa mengeluh, ia dengar semua cerita saya sampai beres. Tak jarang saya sampai menangis selagi cerita. Dia sudah saya anggap seperti kakak perempuan saya sendiri. Dan saya baru sadar, ia tak pernah mengeluh tentang kehidupannya (yang menurut saya (mungkin) lebih sedih dan lebih berat dari saya). Tak pernah sekalipun ia bilang ia tak suka kehidupannya yang berliku. Dari situlah saya sadar, ia tulus jadi orang yang saya andalkan, mungkin ia tahu saya tak punya siapa-siapa ketika ingin ngobrol dari hati-ke-hati. Saya tidak pernah memberikan apapun untuknya. Kado terakhir yang saya berikan untuknya ketika berulang tahun pun, saya rasa belum tersentuh.  Masih simpan utuh di lemari dekat tv miliknya. Seandainya ia bisa dengar suara hati saya, ingin rasanya bilang ‘maaf’. Ia sudah punya banyak beban dalam hidupnya, tapi saya masih lancang menambah beban dengan semua masalah yang saya ceritakan. Jika saya punya kekuatan super untuk mengulang waktu, akan saya balas semua pesan singkat darinya yang biasanya selalu saya abaikan, ingin rasanya menjadi lebih dekat seperti kakak-adik sebenarnya. Intinya, saya merasa bersalah tidak meluangkan waktu lebih banyak dengan orang yang tulus mau jadi tempat sandaran saya. Terima kasih banyak sudah jadi contoh dalam segala hal. Saya tak punya apa-apa, saya juga tak sempat berbuat apa-apa. Satu hal yang bisa saya lakukan, jalani hidup lebih baik, selagi masih ada waktu…

No comments:

Post a Comment