Pages

Thursday, May 29, 2014

Being Honest to Yourself...


Sudah hampir sekitar tiga bulan ini, pikiran saya kacau. Jelas karena terpengaruh beberapa hal. Saya tidak pernah menyangka kalau hidup ternyata seperti main monopoli. Butuh strategi dan taktik jitu agar tak salah melangkah.
Saya bilang pada beberapa orang kalo saya punya trust issue. Ada yang mengerti, ada pula yang jadi kasihan pada saya. Tapi ya, terserah sih orang mau bilang apa. Toh pada akhirnya saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Berhubung saya sering dikecewakan orang, saya jadi agak difensif jika menyangkut hal-hal pribadi. Kalau boleh jujur, saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk membiarkan beberapa orang (yang saya anggap sahabat) untuk masuk ke dalam kehidupan saya. Dalam arti yang sebenarnya ya, saya luar biasa tertutup pada hampir semua orang. Saya pikir itu hal yang (mungkin) normal sebenarnya. Saya tidak suka jika ada orang yang masuk ke dalam “dunia” saya.
Intinya, prinsip saya adalah:
“Why should I be nice to everybody? Cause sometimes, being nice to people is not nice. I’ll do everything I want and I’ll enjoy everything I do. I probably sound arrogant, but I do it before I regret for not being more selfish.”
Feeling seperti itulah yang saya rasakan. Kalau ada yang tersinggung gara-gara semua perkataan saya yang (mungkin) terdengar kasar, saya minta maaf. Saya cuma ingin membuat hidup saya lebih baik, menjadi manusia yang lebih berharga, merasakan bagaimana mencintai dan dicintai secara tulus, karena saya tahu betul bagaimana rasa penyesalan karena tidak memperlakukan orang lain lebih baik…

Sunday, May 18, 2014

Everybody Has the Rights to Love, Being in Love and be Loved...


Sedikit summary tentang saya yang tak pernah terucap sebelumnya. Oke, bukan bermaksud untuk membanggakan diri, tapi memang begitu adanya.
Sejak SD hingga SMA saya termasuk siswi yang yah lumayan lah untuk urusan akademik. Sembilan kali menempati rangking teratas, juara olimpiade Fisika tingkat kota, juara 1 tenis putri KU-13 tingkat kota dan menang lomba debat Bahasa Inggris tingkat kota dan salah satu pembaca berita radio  terbaik tahun 2008. Pada masa itu, siapa yang tak kenal nama saya. Kalau bisa diukur dengan bintang, mungkin nama saya yang paling terang diantara teman-teman yang lain. Sampai pada akhirnya, saya kehilangan rasa percaya diri. Diawali dengan tak sengaja mendengar pendapat orang-orang sekeliling yang ternyata menganggap saya bodoh, kaku, tak bisa berbuat apa-apa. Makin lama, pendapat mereka-mereka itu semakin jelas, apalagi dengan bahasa tubuh yang mereka tunjukkan. Yang paling membuat saya bingung sampai sekarang adalah… well, ketika itu habis pelajaran olahraga, saya merasa tak enak badan. Setelah lari sekitar 2 KM tanpa henti (karena saat itu yang waktu tercepat lah yang mendapat nilai yang baik), dada saya terasa sakit, sampai akhirnya serangan asma pun mulai menyapa. Waktu itu saya sendirian di kelas, karena teman-teman yang lain berada di kantin. Dan, ada satu orang murid laki-laki yang masuk ke kelas. Saya susah payah minta pertolongan, setidaknya bantu saya untuk memasangkan obat hirup yang selalu saya bawa setiap hari. Dan ternyata, dia mengambil ponselnya dan malah merekan video dimana saya sedang berusaha untuk bertahan hidup. Sungguh, saya tidak mengerti apa yang dia pikirkan saat itu. Setelah selesai mengabadikan moment (??) dia pergi ke luar tanpa menoleh sedikitpun. Selanjutnya, saya tiba-tiba berada di ruang UKS.
Semenjak kejadian itu, saya tidak pernah merasa nyaman selama SMA. Masih banyak hal aneh yang orang-orang lakukan terhadap saya, tak perlu diceritakan. Tak pantas diceritakan sebenarnya. Sejak saat itu, saya merasa ada sesuatu yang salah pada diri saya. Entah apa itu, yang pasti saya jadi takut jika ada orang yang menilai saya lewat sudut pandangnya. Semakin lama, saya merasa selalu ingin tampil sempurna setiap saat. Saya luar biasa waswas dan selalu takut bila ada orang yang menganggap saya aneh, baik berupa penampilan atau pun perilaku. Saya tidak ingin berbuat kesalahan, tidak mau terlihat bodoh, tidak boleh membuat malu. Sejak saat itu, saya meyakinkan diri untuk menutup lembaran masa sekolah, fokus melihat kedepan dan berusaha keras untuk menjaga IMAGE yang akan saya bangun sebagai manusia yang (setidaknya) sempurna di masa depan.

Dua atau tiga hari sebelum 15 Mei 2014..
 “I’ll be searching my way, so I can go back to my sky that lost its light…”
Nah, kata-kata itu yang bikin saya sempat terbengong-bengong. Selama ini (waduh), rasanya bisa dihitung jari berapa kali saya berpikir serius untuk menjalani hidup. Dan, iya.. mungkin my own sky lost its shine, itulah kenapa saya santai-sanyai saja selama ini. Tapi memang, kenapa harus terburur-buru? Mau kemana? Toh pada akhirnya, saya tidak sedang berlomba, tidak sedang melawan siapapun.
Mungkin semuanya berawal dari kejadian-kejadian lima tahun lalu. Ada beberapa titik yang pada akhirnya jika ditarik satu garis lurus, bisa menjawab semua pertanyaan saya selama ini. Ada cinta, kepercayaan dan ketulusan.
Cinta. Kata orang, cinta itu indah. Bagi saya, cinta itu tak bisa didefinisikan. Pernah saya dengar ada yang berkata :
“Kalau ada seseorang yang bertanya ‘kenapa kamu suka padanya?’ dan kamu masih bisa menjawab pertanyaan itu, maka itu tidak bisa dinamakan cinta. Tapi, jika kamu kebingungan untuk mencari jawaban agar bisa menjawab pertanyaan itu, maka itulah cinta…”
Dan, lima tahun lalu, tanpa sebab yang jelas, ternyata saya kebingungan jika ada yang melemparkan pertanyaan itu pada saya, bahkan sampai sekarang. Entahlah. Tapi memang, kata siapa cinta butuh jawaban? Selama lima tahun ini, saya hidup baik-baik saja. Mungkin saya yang terlalu acuh hingga tak pernah mencoba untuk mencari tahu jawabannya, atau memang sudah berusaha tetapi tetap tak menemukan jawaban yang benar-benar sempurna untuk pertanyaan itu. Memang, indah sekali rasanya ketika ada orang yang kita sayang di hari ulang tahun, di hari dimana kita membutuhkan tempat untuk bersandar, di hari dimana kita ingin berbagi cerita baik yang sedih ataupun yang membahagiakan. Selama lima tahun ini, mungkin dia lebih kenal saya dibanding orang lain. Terkadang, miris rasanya. Dia jauh, tapi terasa dekat. Dan, orang-orang yang dekat dengan dengan saya terasa jauh. Seperti lirik-lirik klise di lagu-lagu cinta “terpisah ruang dan waktu”.. haha! Apapun lah itu maksudnya. Tapi memang benar, dia ada di belahan dunia yang lain, untuk mencium wangi parfumnya pun jadi hal yang mustahil. Dia bangun di waktu saya untuk tidur, dia tidur di waktu saya untuk bangun. Sungguh, lima tahun yang terlewati harus seperti itu setiap hari. Tapi ya mau bagaimana lagi. Toh pada akhirnya saya menikmati masa-masa itu. Suatu waktu, saya luar biasa bingung, marah, sedih, kecewa, semuanya campur aduk. Sampai saya berpikir untuk pergi dan tak akan pernah kembali. Malam harinya saya ceritakan semua padanya, sampai detil-detilnya pun saya utarakan. Dia balas pesan yang saya kirim, sedikit membuat tersenyum atau mungkin saya ke-GR-an:
“Ketika kau pikir kau tidak bahagia hidup di dunia ini, kau harus ingat bahwa suatu hari nanti kau akan membuat seseorang bahagia. Mungkin orang itu aku, mungkin juga bukan. Dan jika bukan, kenalkan ia padaku. Akan kuberitahu semua hal tentangmu. Apa yang kau suka, apa yang kau tidak suka agar ia bisa memperlakukanmu dengan baik.”
Saat itu juga, aku menangis. Ingin rasanya berterima kasih, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Kenapa ada orang seperti dia di dunia ini. Apakah ini ujian atau berkah dari Tuhan?
Hal yang kedua, Kepercayaan. Selama lima tahun ini, saya menceritakan susah-senang yang saya rasakan kepada dia. Simple, karena saya percaya padanya. Kasarnya, saya tidak pernah cerita apapun pada siapapun (orang-orang di sekeliling saya) karena saya tidak percaya pada mereka. Saya takut mereka akan men-judge saya yang pada akhirnya bisa-bisa membuat saya meresa terasing. Kalau boleh jujur, selama kuliah, tidak ada satu orang pun yang tahu latar belakang saya, siapa keluarga saya, seperti apa kehidupan saya. Mereka bahkan tidak tahu saya tinggal dimana. Lagi-lagi karena saya tidak percaya pada mereka. Saya juga sebenarnya bingung, kenapa saya takut? Mungkin saya takut orang-orang menilai saya buruk, aneh, lebay, atau sebenarnya saya takut diri saya tahu apa yang sebetulnya orang-orang pikirkan. Dan balik lagi ke alasan tertulis diatas. Karena ingin terlihat SEMPURNA. Meskipun saya tahu tidak ada manusia yang sempurna. Jika bertanya-tanya kenapa saya punya trust issue, jawabannya simple. Orang yang paling dekat dengan saya pun tidak bisa dipercaya. Jadi, kenapa saya harus mengandalkan orang lain? Kenapa saya harus baik pada semua orang? Toh, sebenarnya mereka juga tidak peduli.
Dan, pas hari ulang tahun saya kemarin, dengan tekad yang sebenarnya belum begitu bulat, saya yakinkan diri untuk membiarkan teman-teman yang sudah saya kenal selama hampir tiga tahun untuk datang ke rumah, sedikit tahu tentang keluarga saya dan bertemu orang tua saya. Ada rasa lega, walau pun sedikit. Setidaknya mereka tahu saya bukan seorang kriminal. Saya merasa lebih ‘dekat’ dengan mereka. Biasanya, saya selalu merasa canggung, bingung ketika harus mengemukakan pendapat. Takut. Jadi lebih baik saya diam. Tapi kemarin, ada sesuatu yang membuat saya merasa percaya pada mereka. Mungkin secuil, tapi penting. Setidaknya untuk saya sendiri. Ingin rasanya minta maaf pada mereka. Kenapa harus menunggu begitu lama untuk membuat saya merasa percaya pada mereka. Padahal saya yakin, selama ini mereka menghormati saya, memperlakukan saya sebagai teman atau bahkan sahabat mereka. Ada hal sederhana yang saya dapat dari moment ini. Setelah sekian lama saya selalu melakukan segala hal sendirian (bahkan saya sering berpikir ‘I’m  even too independent to be in a relationship’), saya sadar ada orang lain yang butuh saya dan saya juga butuh orang orang lain. Mungkin mulai hari ini saya harus mulai berpikir untuk merubah diri, biarpun sedikit dan pelan-pelan. Semoga saya bisa! Harus…

                Terakhir, tentang ketulusan. Seperti yang sudah saya katakan diawal, banyak hal yang merubah saya selama lima tahun ini. Dan untuk masalah ketulusan, saya baru mendapatkannya sekitar empat atau lima bulan lalu. Berawal dari pertemuan saya dengan teman-teman baru. Bagaimana cara dan siapa saja orangnya, tak perlu saya jelaskan. Yang pasti, saya merasa telah berbuat banyak untuk mereka tapi ternyata hanya ada satu orang yang satu pikiran dengan saya. Yang lain, entah tidak tahu diri atu apa lah itu disebutnya. Mereka acuh, bahkan tak ucap ‘maaf’ atau ‘terima kasih’. See? Untuk kesekian kalinya, saya ‘dibodohi’ orang-orang sekeliling yang sudah saya taruh kepercayaan. Itulah kenapa saya susah sekali untuk ‘keluar sangkar’, sakit rasanya. Makanya, sampai sekarang, untuk bertemu mereka pun rasanya sungguh tak mau.
Selanjutnya, bulan Maret 2014. Orang yang (cukup) dekat dengan saya pergi. Pergi jauh, ditunggu selama apapun tak akan kembali. Orang yang selama ini jadi kuping ketiga saya. Kami sama-sama suka makanan pedas, sama-sama punya sisi ‘American Style’, sama-sama suka game pc, sama-sama suka minuman dingin, sama-sama suka menghayal hidup di luar negeri. Sering saya cerita tentang betapa aneh kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Tanpa mengeluh, ia dengar semua cerita saya sampai beres. Tak jarang saya sampai menangis selagi cerita. Dia sudah saya anggap seperti kakak perempuan saya sendiri. Dan saya baru sadar, ia tak pernah mengeluh tentang kehidupannya (yang menurut saya (mungkin) lebih sedih dan lebih berat dari saya). Tak pernah sekalipun ia bilang ia tak suka kehidupannya yang berliku. Dari situlah saya sadar, ia tulus jadi orang yang saya andalkan, mungkin ia tahu saya tak punya siapa-siapa ketika ingin ngobrol dari hati-ke-hati. Saya tidak pernah memberikan apapun untuknya. Kado terakhir yang saya berikan untuknya ketika berulang tahun pun, saya rasa belum tersentuh.  Masih simpan utuh di lemari dekat tv miliknya. Seandainya ia bisa dengar suara hati saya, ingin rasanya bilang ‘maaf’. Ia sudah punya banyak beban dalam hidupnya, tapi saya masih lancang menambah beban dengan semua masalah yang saya ceritakan. Jika saya punya kekuatan super untuk mengulang waktu, akan saya balas semua pesan singkat darinya yang biasanya selalu saya abaikan, ingin rasanya menjadi lebih dekat seperti kakak-adik sebenarnya. Intinya, saya merasa bersalah tidak meluangkan waktu lebih banyak dengan orang yang tulus mau jadi tempat sandaran saya. Terima kasih banyak sudah jadi contoh dalam segala hal. Saya tak punya apa-apa, saya juga tak sempat berbuat apa-apa. Satu hal yang bisa saya lakukan, jalani hidup lebih baik, selagi masih ada waktu…

Tuesday, May 13, 2014

(awkward) Presentation.. lol!


So, last week, my lecturer called out my member’s name and asked us to present our analysis on a particular poem that we’ve chose before. When talking in front of my classmates, I think I did well. I mean, I’m not bragging or what but I am relief now since I knew that I did pretty well. I was actually surprised at how well my brain worked that day. I didn’t know I could talk like that. Haha! I watch Korean shows, I speak Sundanese at home, I whine in Indonesia and listening some random Japanese songs. I thought I lost all my English-ness because of those. But knowing that my brain was still capable to catch up the material and easily bursting out the words to begin with, I believed that I was pretty cool that day. Hahaha. Sorry..
And today, I freaking had to do the presentation again. Different course though. But I couldn’t concentrate at all. I was disturbed by many things I saw and heard. First, the expressions of my classmates. Seriously, they were like they’re expecting something huge was about come out of my mouth. What were they thinking?! That’s my first sentence I produced in my head when I saw they were looking at me in a weird way. Second, well I have to say, my group member. He was trying to make a joke (maybe?) which I think it was FUNNY at all. He asked “what’s your name?” to me during the introduction. I was like “The effff are you doing?” haha. I was about to attack him verbally, but It would make everything worse. So I sat still, even though my lecturer was like “that was a joke?” lol! First of all, he asked that rudely, I mean, he used a rude words to ask that question that’s why I think that joke was inappropriate. Second, I’m older than him so I don’t think it was too rude to ask me like that using those words. Well, overall, it was not the right joke to be said that time. Bleh!

Wednesday, April 9, 2014

Cewe & Rokok


Oke, kemarin, saya beli pulsa di counter deket rumah. Disana ada beberapa SPB yang lagi nongkrong (berhubung si counternya sebelahan sama warung nasi). Bukan SPB nya sih yang mau saya bahas, tapi SPG nya yang menurut saya rada-rada aneh. Sambil nungguin pulsanya masuk, saya iseng liat-liat kartu perdana. Dan tiba-tiba masuklah seorang SPG pake baju warna merah. Langsung ngambil kursi, ngobrol sama mbak-mbak counter. Akrab banget pokonya, mungkin saking seringnya mampir kesitu. Trus tiba-tiba ngerokok aja. Emang sih, cewe-cewe yang suka ngerokok sekarang mah banyak, bertebaran dimana-mana. Tapi, di mata say amah SPG tuh anggun, girly, kalo ngomong senyam-senyum, dandan abis, pokonya yang cewe banget lah. Eh, ini mah malah ngerokok. Udah ngga canggung lagi pastinya. Mungkin saya orang yang konservatif ato mungkin juga udah kecuci otaknya dan berpikiran kalau cewe-cewe yang ngerokok itu ya…cewe-cewe ngga bener. Terlepas dia bikin keputusannya itu atas dasar keinginan dia sendiri atau ngikutin temen-temennya.

Sunday, March 9, 2014

Aku Takut Mati

Tepat seminggu yang lalu, aku kehilangan seseorang yang sebenarnya tak pernah kusangka akan merasa sangat kehilangan ketika ia pergi. Hm, ia sebenarnya cuma seorang yang sangat dekat denganku, bukan tipe orang yang kelakuannya patut dicontoh. Mungkin karena kami punya sudut pandang yang berbeda. Mungkin juga karena kami, lebih tepatnya, punya kepribadian yang bertolak belakang, atau apapun lah itu namanya. 
Dua hari yang lalu, akhirnya tangisan itu pun keluar. Ada rasa sakit hati, penyesalan, takut, kasihan, rindu dan segala rasa yang tak pernah bisa kuungkapkan. 
Semenjak kepergiannya, banyak hal terjadi dalam hidupku, dalam pikiranku, setidaknya. Berhubung ia hanya terpaut 4 tahun dariku, rasa takut akan kematian pun muncul. Aku belum menginjak usia (bayangkan itu sebuah titik) itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika suatu hari nanti aku menginjak titik itu, aku tidak yakin apakah aku bisa menginjak, merasakan sedikit saja, titik itu. Sampai pada akhirnya, ada rasa aku ingin meninggalkan semua hal yang aku cintai (orang tua, sanak saudara, barang-barang yang kusimpan) secara rapi. Ingin rasanya sempat untuk berpamitan, memberikan kesan baik untuk orang-orang, berbagi apa yang aku punya, menjadi contoh bagi sepupu-sepupuku yang lain. Namun sayang, kita tidak pernah tahu kapan waktu itu datang. Ya, contohnya dia (tak etis rasanya untuk menyebut siapa nama "dia" dalam tulisanku ini), siapa yang menyangka akan meninggalkan kami semua. Usia 20-tahun-an nya pun belum usai. Masih banyak hal yang ia bisa lakukan. Masih banyak mimpi yang ia belum laksanakan.
Jujur, sekarang, aku takut semua hal yang telah kurencanakan tidak bisa terlaksana, aku takut semua mimpi yang telah kupikirkan tak akan sempat ku penuhi. Mungkin terbawa suasana. Yang pasti, kejadian ini banyak memberiku hal berharga. Hal berharga tentang bagaimana berbuat baik pada orang lain, menghargai waktu, bersyukur atas apa yang telah aku dapatkan, menjaga semua hal yang aku punya, menghargai hidup karena di suatu tempat (mungkin di belahan dunia yang lain) ada seseorang yang sedang bejuang untuk hidup. Setidaknya aku masih bebas bernapas. 
Mungkin lebih bijak jika menyebut semua hal ini sebagai "persiapan". Dunia hanya sebuah tempat pemberhentian manusia. Dan kukatakan sekarang, AKU TAKUT MATI.