Pages

Sunday, December 15, 2013

Letters To You : It's Me


1
Temanku, Dina…


Juni 2003…
Hari ini, Rabu. Pagi yang cerah. Aku sibuk merapikan baju seragamku sambil berlari menuju kelas Mr. Lewis. Aku datang terlambat.
“Hey, apa kau datang terlambat juga?”
Suara seorang murid laki-laki terdengar dari arah belakang. Dia Michael. Salah satu murid laki-laki terpopuler. Ayahnya punya perusahaan jasa yang cukup ternama dan seorang dosen matematika dasar di kampus ini. Postur tubuhnya proporsional. Dia selalu memakai gelang persahabatan berwarna merah di pergelangan tangan kirinya. Dia pernah bilang, semua anak basket  harus memakainya. Tanda kebersamaan.
“Kau masuk kelas Mr. Lewis juga kan?” ia bertanya padaku.
Aku mengangguk. Lalu bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia begitu tampan. Dag dig dug rasanya. Seorang siswi keluar dari kelas. Dia, Sarah. Sepupuku. Kami tumbuh bersama. Meskipun begitu, latar belakang kami berbeda. Ayahnya seorang petinggi di salah satu anak perusahaan kakekku. GE Group. Kalau kau mencoba mencarinya di internet, pasti akan muncul foto kakekku yang memakai jas dengan latar belakang sebuah batu besar dengan tulisan GE Group. Ya, keluarganya Sarah lah yang saat ini berkecimpung di dunia bisnis melalui perusahaan global itu.
“Kau datang terlambat. Beruntung sekali, Mr. Lewis membatalkan kelasnya hari ini.” kata Sarah sambil pergi.
Michael memandangi Sarah seperti aku memandangnya. Mungkin hatinya bertanya-tanya, kenapa Sarah begitu cantik.
“Giselle! Sepulang sekolah, kau mau mengantarku membeli kado, tidak? Besok Ayahku ulang tahun. Aku ingin membelikannya sebuah dasi yang bagus.” ucap Dina padaku.
“Iya.” jawabku. Michael yang sejak tadi terkesima dengan kecantikan Sarah, melintas di depanku. Dia menganggu percakapanku dengan Dina.
“Tidak sopan!” Dina menggerutu.
Sepulang sekolah, aku dan Dina pergi ke sebuah mall untuk membeli dasi. Dina menabung selama sebulan penuh untuk membeli dasi bermerk. Di dalam bis, Dina tak henti menceritakan adik laki-lakinya yang sangat nakal. Aku hanya mengangguk, tersenyum, sedikit tertawa, lalu melamun. Ada hal lain yang kupikirkan.
“Lebih bagus yang mana ya? Hijau atau merah? Yang mana? Yang mana?” tanya Dina.

***

Esok paginya…
Aku tidak datang terlambat. Hari ini ada test bahasa Inggris. Baru dua minggu  kami masuk kampus ini, rasanya terlalu cepat untuk sebuah tes. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh, tertulis nama “Billy” di atas mejanya.
“Bisakah kau menolongku? Pesilku jatuh ke bawah kursi mu.” Ia bertanya setengah berbisik.
Aku mengambilkan pensil miliknya dan beberapa saat kemudian tes pun dimulai.
                                                                                                                                                                           
***

Pulang kuliah...
“Ayo, aku ingin mengenalkanmu pada ayah dan ibuku. Kami merayakan ulang tahun Ayah di rumah. Kau mau kan datang? Aku harus bilang, kalau kau punya andil besar dalam pemilihan kado untuk Ayah.” ucap Dina, penuh semangat.
“Kau terlalu berlebihan.” kataku. “Kau hanya memintaku untuk memilihkan warna, Cuma itu, tidak lebih.” Aku, setengah tertawa.
Di tengah perjalanan menuju rumah Dina, ia bertanya padaku apa aku menyukai Michael. Sebab, hampir setiap hari, aku selalu memandanginya penuh rasa kagum. Aku hanya tertawa atas pertanyaan anehnya itu, walaupun dalam hati aku ingin sekali menjawabnya.
“Orang tuaku bukan orang kaya. Aku harap kau tidak keberatan.”
“Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?” tanyaku.
“Sepertinya Sarah, sepupumu itu, berasal dari keluarga kaya raya. Aku rasa kau juga. Setidaknya, aku punya pikiran seperti itu.”
Aku menunduk, menghela napas lalu tersenyum pada Dina.
“Buang jauh-jauh pikiran seperti itu. Aku tidak pilih-pilih teman.”
Sekitar 15 menit berjalan dari halte bis tempat kami turun, akhirnya kami tiba di sebuah…kedai mie?
“Kedai ini milik orang tuaku. Ayahku akan berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja, kakak laki-laki ku bertugas mengantarkan pesanan ke kantin-kantin perusahaan di dekat sini, ibuku yang mengolah makanan dan adikku, adikku akan sesegera mungkin mengambil sarung tangan baseball kesayangannya lalu pergi bermain. Sepulang sekolah, aku berusaha membantu orang tuaku melayani pembeli. Biasa banyak yang datang saat hujan tiba. Banyak orang bilang, mie pedas buatan ibuku enak sekali.” kata Dina, panjang lebar.
“Benarkah? Boleh aku coba? Aku ini penggemar berat mie!” ucapku.
Setelah menunggu sekitar satu jam, Ayah Dina pulang.
“Ayah, ini kado dariku. Aku mengumpulkan uang untuk membeli ini. Aku tahu ayah bukan orang penting di kantor, tapi aku ingin ayah memakai dasi yang bagus. Temanku ini yang memilihkan warnanya. Makannya ia kuajak kemari.” kata Dina sambil memberikan sekotak kado.
Kami merayakan ulang tahun beliau dengan cara yang sederhana. Tidak ada pesta meriah, tidak ada kue ulang tahun dengan lilin diatasnya, tidak ada tumpukan kado. Yang ada hanyalah suasana kehangatan penuh kebersamaan. Aku iri, keluargaku tidak seperti ini. Sayang sekali.

***

Aku berbaring di tempat tidurku. Memikirkan kenapa aku tidak memiliki apa yang Dina punya. Aku menatap langit-langit, melamun, lelah dan aku pun akhirnya tertidur.


***


No comments:

Post a Comment