1
Temanku, Dina…
Juni 2003…
Hari ini,
Rabu. Pagi yang cerah. Aku sibuk merapikan baju seragamku sambil berlari menuju
kelas Mr. Lewis. Aku datang terlambat.
“Hey, apa kau
datang terlambat juga?”
Suara seorang
murid laki-laki terdengar dari arah belakang. Dia Michael. Salah satu murid
laki-laki terpopuler. Ayahnya punya perusahaan jasa yang cukup ternama dan seorang
dosen matematika dasar di kampus ini. Postur tubuhnya proporsional. Dia selalu
memakai gelang persahabatan berwarna merah di pergelangan tangan kirinya. Dia
pernah bilang, semua anak basket harus
memakainya. Tanda kebersamaan.
“Kau masuk
kelas Mr. Lewis juga kan?” ia bertanya padaku.
Aku
mengangguk. Lalu bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia begitu tampan. Dag dig
dug rasanya. Seorang siswi keluar dari kelas. Dia, Sarah. Sepupuku. Kami tumbuh
bersama. Meskipun begitu, latar belakang kami berbeda. Ayahnya seorang petinggi
di salah satu anak perusahaan kakekku. GE Group. Kalau kau mencoba mencarinya
di internet, pasti akan muncul foto kakekku yang memakai jas dengan latar
belakang sebuah batu besar dengan tulisan GE Group. Ya, keluarganya Sarah lah
yang saat ini berkecimpung di dunia bisnis melalui perusahaan global itu.
“Kau datang
terlambat. Beruntung sekali, Mr. Lewis membatalkan kelasnya hari ini.” kata
Sarah sambil pergi.
Michael
memandangi Sarah seperti aku memandangnya. Mungkin hatinya bertanya-tanya,
kenapa Sarah begitu cantik.
“Giselle!
Sepulang sekolah, kau mau mengantarku membeli kado, tidak? Besok Ayahku ulang
tahun. Aku ingin membelikannya sebuah dasi yang bagus.” ucap Dina padaku.
“Iya.”
jawabku. Michael yang sejak tadi terkesima dengan kecantikan Sarah, melintas di
depanku. Dia menganggu percakapanku dengan Dina.
“Tidak sopan!”
Dina menggerutu.
Sepulang
sekolah, aku dan Dina pergi ke sebuah mall untuk membeli dasi. Dina menabung
selama sebulan penuh untuk membeli dasi bermerk. Di dalam bis, Dina tak henti
menceritakan adik laki-lakinya yang sangat nakal. Aku hanya mengangguk,
tersenyum, sedikit tertawa, lalu melamun. Ada hal lain yang kupikirkan.
“Lebih bagus
yang mana ya? Hijau atau merah? Yang mana? Yang mana?” tanya Dina.
***
Esok paginya…
Aku tidak
datang terlambat. Hari ini ada test bahasa Inggris. Baru dua minggu kami masuk kampus ini, rasanya terlalu cepat
untuk sebuah tes. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh,
tertulis nama “Billy” di atas mejanya.
“Bisakah kau
menolongku? Pesilku jatuh ke bawah kursi mu.” Ia bertanya setengah berbisik.
Aku
mengambilkan pensil miliknya dan beberapa saat kemudian tes pun dimulai.
***
Pulang kuliah...
“Ayo, aku
ingin mengenalkanmu pada ayah dan ibuku. Kami merayakan ulang tahun Ayah di
rumah. Kau mau kan datang? Aku harus bilang, kalau kau punya andil besar dalam
pemilihan kado untuk Ayah.” ucap Dina, penuh semangat.
“Kau terlalu
berlebihan.” kataku. “Kau hanya memintaku untuk memilihkan warna, Cuma itu,
tidak lebih.” Aku, setengah tertawa.
Di tengah
perjalanan menuju rumah Dina, ia bertanya padaku apa aku menyukai Michael.
Sebab, hampir setiap hari, aku selalu memandanginya penuh rasa kagum. Aku hanya
tertawa atas pertanyaan anehnya itu, walaupun dalam hati aku ingin sekali
menjawabnya.
“Orang tuaku
bukan orang kaya. Aku harap kau tidak keberatan.”
“Kenapa kau
tiba-tiba berkata seperti itu?” tanyaku.
“Sepertinya
Sarah, sepupumu itu, berasal dari keluarga kaya raya. Aku rasa kau juga.
Setidaknya, aku punya pikiran seperti itu.”
Aku menunduk,
menghela napas lalu tersenyum pada Dina.
“Buang jauh-jauh
pikiran seperti itu. Aku tidak pilih-pilih teman.”
Sekitar 15
menit berjalan dari halte bis tempat kami turun, akhirnya kami tiba di
sebuah…kedai mie?
“Kedai ini
milik orang tuaku. Ayahku akan berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja, kakak
laki-laki ku bertugas mengantarkan pesanan ke kantin-kantin perusahaan di dekat
sini, ibuku yang mengolah makanan dan adikku, adikku akan sesegera mungkin
mengambil sarung tangan baseball kesayangannya lalu pergi bermain. Sepulang
sekolah, aku berusaha membantu orang tuaku melayani pembeli. Biasa banyak yang
datang saat hujan tiba. Banyak orang bilang, mie pedas buatan ibuku enak
sekali.” kata Dina, panjang lebar.
“Benarkah?
Boleh aku coba? Aku ini penggemar berat mie!” ucapku.
Setelah
menunggu sekitar satu jam, Ayah Dina pulang.
“Ayah, ini
kado dariku. Aku mengumpulkan uang untuk membeli ini. Aku tahu ayah bukan orang
penting di kantor, tapi aku ingin ayah memakai dasi yang bagus. Temanku ini
yang memilihkan warnanya. Makannya ia kuajak kemari.” kata Dina sambil
memberikan sekotak kado.
Kami merayakan
ulang tahun beliau dengan cara yang sederhana. Tidak ada pesta meriah, tidak
ada kue ulang tahun dengan lilin diatasnya, tidak ada tumpukan kado. Yang ada
hanyalah suasana kehangatan penuh kebersamaan. Aku iri, keluargaku tidak
seperti ini. Sayang sekali.
***
Aku berbaring
di tempat tidurku. Memikirkan kenapa aku tidak memiliki apa yang Dina punya.
Aku menatap langit-langit, melamun, lelah dan aku pun akhirnya tertidur.
***
No comments:
Post a Comment